Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Ketatanegaraan DiIndonesia
Pesatnya pembentukan lembaga-lembaga baru, yang sebagian besar merupakan komisi negara independen merupakan gejala yang mendunia, dan disebabkan karena terjadi berbagai perubahan sosial dan ekonomi. Hal ini memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan melalui pembentukan berbagai organ negara yang dinilai lebih efektif, powerful8, dan tentu saja akomodatif terhadap tuntutan rakyat. Di Indonesia, gerakan reformasi merupakan kesepakatan luhur bangsa, yang menjadi pijakan amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan rahim bagi pembentukan komisi negara independen 9salah satunya adalah komisi Pemberatasan Korupsi.
Terkait tentang luasnya kewenangan yang dimiliki KPK ada potensi kekaburan norma dalam pemberian wewenang Lembaga tersebut. Penyebab utama adanya kekaburan norma dalam kewenangan lembaga negara tersebut adalah Undang-Undang KPK, termasuk Undang-Undang Tipikor itu sendiri. Karena Undang-Undanglah yang masih belum bisa memberikan penjelasan terkaitmengenai unsur-unsur yang telah dimuat dalam Undang- Undang sebagai kewenangan lembaga Negara itu sendiri.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut menguraikan sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan “Lembaga Negara” adalah lembaga Negara yang bersifat sebagai State auxiliary agency yang masuk dalam rumpun eksekutif. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuasaan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang komisi pemberantasan korupsi atau anggota komisi secara individu dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait denga perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Satu hal yang perlu ditegaskan terkait dengan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bahwa rumusan dalam Pasal 3 Undang-undang No 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan kemungkinan adanya penafsiran lain selain yang terumuskan dalam ketentuan pasal tersebut, yaitu independensi dan kebebasan Komisi Pemberantasan Korupsi dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.13 Independensi dan kebebasan dari pengaruh kekuasaan manapun dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi juga perlu ditegaskan agar tidak terdapat keragu- raguan dalam diri anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dan pasal 20 ayat (1) yang menyatakan: “Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab pada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara bantu yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Walaupun memiliki independensi dan kebebasan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, namun Komisi Pemberantasan Korupsi tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang berkaitan dengan perangkat keanggotaannya. Di samping itu, untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat tim penasehat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas member nasehat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas luas tetap ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye public dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas.
Sebagai lembaga yang dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas mengoordinasikan serta melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Lebih dari itu, Komisi Pemberantasa Korupsi juga diberikan kewenangan untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar oleh KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan tersebut adalah adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari pihak eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Walaupun memiliki independensi dan kebebasan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, namun Komisi Pemberantasa Korupsi tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang berkaitan dengan keorganisasian. Pasal 30 Undang-undang No 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasa Korupsi menentukan bahwa pimpinan Komisi Pemberantasa Korupsi yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil ketua, yang semuanya merangkap sebagai anggota, dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden.
Segala hal yang berkaitan dengan hubungan kedudukan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan lembaga-lembaga negara lain selalu mengacu kepada Undang-undang No 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Oleh karena itu, pengaturan mengenai hal tersebut tidak dibentuk secara khusus. Tugas dan kewenangan yang serupa dengan lembaga kejaksaan membuat Komisi Pemberantasan Korupsi terkesan lebih dekat dengan cabang kekuasaan eksekutif dibandingkan dengan cabang kekuasaan legislatif maupun yudikatif. Aturan-aturan tertulis yang digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi. dalam melaksanakan tugas selain melakukan pemberantasan korupsi pun merupakan aturan- aturan yang dibentuk oleh pemerintah (eksekutif).
Satu hal yang perlu ditegaskan terkait dengan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bahwa rumusan dalam Pasal 3 Undang-undang No 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Pemberantasan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memberikan kemungkinan adanya penafsiran lain selain yang terumuskan dalam ketentuan Pasal tersebut, yaitu independensi dan kebebasan Komisi Pemberantasan Korupsi dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri dibentuk dengan latar belakang bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan hingga sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk lembaga yang fungsinya masuk kedalam rumpun kekuasaan Eksekutif.
Sehubungan dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara yang tidak ditempatkan dalam konstitusi, Romli berpendapat bahwa sistem ketatanegaraan tidak dapat diartikan hanya secara normatif (hanya dari sudut ketentuan konstitusi), tetapi juga dapat diartikan secara luas karena tidak semua lembaga negara diatur dalam konstitusi. Apabila suatu lembaga negara tidak ditempatkan di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan berarti lembaga negara tersebut tidak mempunyai kedudukan hukum atau inkonstitusional, karena sifat konstitusional suatu lembaga dapat dilihat dari fungsinya dalam melaksanakan tugas dan wewenang atas nama negara. Dengan demikian, keberadaan lembaga negara ada yang tercantum di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945melainkan dibentuk berdasarkan Undang-undang, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai sebuah lembaga negara bantu.14 Tidak kalah pentingnya, latar belakang didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi telah ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-undang No 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang antara lain menyatakan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dan berkembang secara sistematis di segala bidang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga telah melanggar hak- hak ekonomi dan hak-hak sosial masyarakat. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dan penanganannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara konvensional melainkan harus dilaksanakan dengan cara-cara luar biasa. Salah satu langkah dalam rangka pelaksanaan cara luar biasa tersebut adalah pembentukan badan baru yang diberikan kewenangan yang luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun (extra-ordinary tool). Dengan demikian, Keberadaan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ada pula yang dibentuk berdasarkan undang- undang, diantaranya Komisi Pemberantasan Korupsi yang disebut sebagai lembaga negara bantu. Dengan demikian, keberadaan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi secara yuridis adalah sah berdasarkan konstitusi dan secara sosiologis telah menjadi kebutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Demikian Pembahasan dapat di ambil kesimpulan sementara kalau Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara bantu yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.